Rabu, 19 September 2012

MUTUAL AID

Mutual Aid kalau di terjemahkan kedalam bahasa ibu kita, itu sama saja artinya dengan Kerjasama. Gua sendiri mempunyai hasrat yang sangat kuat untuk bekerjasama daripada harus bersaing atau berkompetisi. Dan sampai detik ini gua masih beranggapan kalau hidup didalam persaingan itu bukanlah kehidupan yang asik, boro-boro membahagiakan hati (pokoknya nggak banget deh!!!). Lagipula kita sama-sama tahu bahwa sepanjang sejarah dunia hewan ataupun manusia, kerjasama lebih penting dari pada persaingan... Jadi, yang benar menurut gua itu adalah bertahan untuk kehidupan bersama bukannya saling bersaing dan berkompetisi untuk bertahan hidup. Kalau bahasa intelektualnya; Leadership of the fittest, bukannya survival of the fittest.

Dalam kehidupan sehari-hari kita dengan mudah bisa melihat akibat dari jahatnya persaingan, yaitu timbulnya berbagai bentuk penipuan, penghianatan, dan penindasan yang dilakukan manusia kepada manusia. Coba kau bayangkan, dengan sesama manusia saja sudah sangat kejam dan sadistisnya amit-amit, lalu bagaimana dengan makluk hidup lainnya yang bukan ras manusia?! Dalam dunia kerja, nggak sedikit para pekerja yang mau berkompetisi untuk mendapat perhatian dari atasan atau majikan mereka. Semua untuk keselamatan dan keuntungan diri sendiri walau itu mesti mengorbankan kehidupan orang lain. Maka timbulah aksi jilat-menjilat dan aksi saling menjatuhkan dengan sesama rekan sekerja... Bos atau owner (pemilik perusahaan) sih tenang-tenang saja, karena justru diuntungkan dari konfik-konflik internal kaum proletar ini, kelompok sosial yang kalau dilihat dari segi jumlah atau kuantitas memang sangat besar. Inilah yang gua sebut dengan kebobrokan moral kaum proletar! Iming-imingi saja mereka dengan uang atau secuil porsi jabatan, maka kekuatan mereka akan mudah terpecah-belah, dan dengan otomatis sebagian besar mereka akan saling bersaing keras dan bahkan saling menghancurkan!!!

Oh iya, sedari tadi gua bicara tentang ‘proletar’... Sebelum gua melanjutkan tulisan, gua coba untuk menjelaskan arti proletar menurut sepengetahuan gua; bahwa ketika seseorang menjual tenaganya (karena ketiadaan modal/uang/kapital) kepada pemilik atau yang empunya perusahaan, maka dia bisa disebut sebagai seorang proletar (mau dia itu seorang cleaning servis, office boy, atau manajer sekalipun). Kalau dalam bahasa kesehari-harian kita, kaum proletar biasa kita sebut kaum buruh. Kalau orang-orang Marxis membaginya menjadi dua kelompok kelas; kaum buruh masuk kedalam kelas pekerja dan yang empunya perusahaan tadi masuk kedalam kelas pemodal. Dan persoalan kelas itu sendiri, yang di dominasi dua kelas yang saling benci tapi rindu ini (hehehe...), kalau gua jabarkan didalam tulisan ini maka pembahasannya akan menjadi panjang kali lebar kali tinggi alias panjang banget coy… Bisa jadi satu buku! Lagi pula ceritanya disini gua kan lagi nulis kolom, dan kalau pun nekat gua jelaskan disini belum tentu juga lu mau membacanya...

Gini aja deh, pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari yang bisa gua lihat, kedua kelompok kelas yang dikatakan oleh para Marxis ini saling bertentangan, pada kenyataan memang saling membutuhkan, walau harus kita perhatikan juga mereka nggak benar-benar pernah akur. Seperti hubungan rakyat dengan pemerintah, atau seperti menonton film kartun Tom & Jerry! Persoalan pertentangan kelas, memang sudah menjadi bahan pemikiran dan perdebatkan banyak orang dari jaman dulu, bahkan jauh sebelum Karl Marx mencetuskan dan menulis buku Manifesto Komunis atau Das Kapital di akhir abad 19 kemarin, yang mengkritik sistem ekonomi Kapitalisme. Dan menurut gua, brengseknya sistem ekonomi yang digagas oleh Adam Smith ini adalah karena secara langsung ataupun tidak langsung telah mengajarkan atau mendorong para bos/majikan/pemilik perusahaan/owner menempatkan atau memposisikan para pekerja mereka semata-mata sebagai mesin industri bukan sebagai mitra kerja/usaha. Padahal sampai kapan pun atau bahkan sampai mampus pun yang namanya makluk hidup nggak akan mau dan nggak akan bisa disejajarkan dengan mesin. Sebagai manusia, gua sendiri benci jika disama-samakan dengan seonggok besi!

Layaknya makluk hidup, manusia punya kebutuhan biologis, punya perasaan, dan pastinya setiap manusia mempunyai harapan atau impian! Dan praktek-praktek Kapitalisme yang selama ini terjadi telah mengenyampingkan hal itu atas nama akumulasi modal/kapital atau semata-mata untuk mengejar nilai lebih. Akhirnya yang ada didalam benak para pemilik modal itu adalah bagaimana caranya meraup keuntungan sebesar-besarnya, dengan cara apapun juga... Jika keuntungan besar bisa didapat dengan cara menekan ongkos produksi, maka itu harus segera dilakukan. Dan biasanya hal yang paling sering dilakukan adalah dengan cara menekan serendah mungkin upah para pekerja mereka. Persoalan apakah upah itu cukup atau tidak untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang layak, itu bukan urusan mereka. Kapitalisme mengajarkan kepada mereka bagaimana caranya meraup profit dan mengelembungkan modal dengan cepat (bahkan kalau bisa melebihi kecepatan kilat!), urusan keadilan sosial atau persoalan kemanusiaan bukanlah hal yang penting untuk mereka pikirkan! Toh jika suatu waktu terjadi clash atau konflik dengan para pekerja, mereka sudah mengantisipasi dengan membayar dan kemudian menggunakan kekuasaan politik atau kekuatan alat pemaksa yang dimiliki negara. Ya, berkolaborasinya pengusaha yang rakus dengan penguasa atau aparat negara yang korup selalu menciptakan sistem penindasan yang brutal!

Oke, oke... Taruhlah sistem Kapitalisme itu memang sangat menyebalkan, lalu bagaimana kita bisa melawannya??? Dan bisakah kita menghancurkannya??? Jawaban gua; untuk melawan tentu kita bisa. Walau untuk menghancurkan sistem ini mungkin menjadi sesuatu hal yang mustahil (untuk saat ini), tetapi minimal kita bisa mengurangi dominasi mereka dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita harus menciptakan model-model ekonomi alternatif yang lebih manusiawi, adil, partisipatoris dan demokratis. Contoh konkritnya dong, jangan cuma bisa berteori doang bung! Teriakmu lantang menggelegar!!! Oh, tentu saja kawan, harus itu! Teori tanpa praktek adalah omong kosong. Karena teori tanpa pernah di wujudkan sedikit pun dalam kehidupan nyata kita hanya akan menjadi bualan-bualan yang amat sangat memuakkan. Seperti kata orang-orang tua kita dulu, dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan...

Begini lagi deh coy, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti di kota Jakarta saat ini kita suka nggak suka, mau nggak mau memang mesti mengeluarkan biaya (mungkin situasinya akan berbeda bila kita hidup di gunung atau di hutan...). Kalau bicara biaya berarti ngomongin uang, dan kalau sudah ngomongin uang berarti juga mesti memperhitungkan pemasukan dan pengeluaran. Pastinya nggak akan ada pengeluaran kalau nggak ada pemasukan toh?! Kecuali kau berhutang. Dan berhutang pun sebenarnya juga pemasukan, walau minus...hehehe! Lalu bagaimana caranya biar ada pemasukan??? Caranya ya dengan melakukan aktifitas ekonomi seperti bekerja dengan orang lain/perusahaan, atau membuka usaha sendiri. Sebagian besar dari kita banyak yang “memilih” bekerja dengan menjual tenaga dan pikiran kita kepada orang lain. Ingin membuka usaha sendiri selalu kebentur sama ketiadaan modal usaha atau nggak punya keahlian yang mumpuni untuk itu. Nggak punya modal usaha yang cukup, nggak punya keahlian yang mumpuni tapi tetap ingin punya usaha sendiri...bisakah? Jawaban gua; bisa!!! Bila sendiri nggak bisa, mengapa nggak coba melakukannya dengan bekerjasama dengan kawan-kawan terbaik kita?! Dengan membuka usaha kolektif misalnya. Dengan kesepakatan yang dirumuskan dan disetujui bersama untuk kepentingan bersama pula.

Bila kita membuka usaha bersama dengan mengikuti perhitungan kaku ekonomi mainstream (kapitalisme) saat ini, setiap orang yang ikut dalam usaha bersama tadi, kedudukan dan pembagian hasil sangat tergantung dari berapa besar modal yang dia miliki. Semakin besar modal, maka semakin besar perannya dalam menentukan kebijakan atau keputusan dan tentu saja semakin besar pula bagian yang akan didapatkannya. Gua nggak begitu tertarik dengan sistem seperti ini. Gua menginginkan sistem ekonomi alternatif.

Tahun kemarin gua pernah mengajak beberapa orang sahabat untuk bekerjasama dalam kolektif, pada waktu itu kami memutuskan untuk membuka usaha warnet, warung kopi/serabi, dan distro yang pengelolaannya dilakukan secara bersama-sama. Modal yang kami punya waktu itu beragam dan berbeda-beda (yang nggak memiliki modal uang, asalkan dia mempunyai semangat dan komitmen untuk bekerjasama, maka dia bisa bergabung dalam kolektif), pada waktu itu kami sepakat dan memutuskan untuk persoalan pembagian hasil yang didapat dari usaha itu nantinya akan dibagi sama rata setelah setiap modal yang dikeluarkan telah berhasil kami kembalikan dalam waktu tertentu sesuai target-target kerja yang akan kami lakukan. Setiap anggota dalam kolektif bekerja dengan kemampuan maksimal yang dimilikinya, yang sudah bisa mengajari yang belum bisa, untuk saling mengisi dan saling mengingatkan. Setiap kepala mempunyai satu suara, dan setiap suara sama berharganya. Setiap pengambilan keputusan harus di rundingkan bersama. Oleh karena itu setiap anggota harus memiliki kesadaran kolektif, sadar akan keberadaannya, sadar akan kewajiban dan hak-haknya dalam kolektif.

Mungkin kau akan bertanya, berhasilkah? Ya, tentu saja berhasil. Gua rasa semua yang ada didalam kolektif waktu itu cukup enjoy menjalani semua aktifitasnya. Memang ada pembagian unit kerja, tapi itu sifatnya nggak kaku dan mengikat, karena fungsinya untuk mempermudah pengelolaan saja. Cuma kesalahan fatal waktu itu terjadi di bulan ketiga, waktu gua mengusulkan kepada kawan-kawan di kolektif untuk meminjam dana yang cukup besar dari salah satu kerabat gua untuk pembelian 11 unit komputer yang baru (berikut meja, dan tetek-bengek lainnya) untuk menggantikan unit lama yang akan diambil oleh pemiliknya. Ya, dia telah sudah berbaik hati meminjamkan ke kami selama 2 bulan. Pada awal perjanjian yang tak tertulis itu, kerabat yang masih bibi gua ini setuju meminjamkan modal dengan perjanjian bagi hasil 60:40 (60 buat kolektif, 40 buat dia). Pembagian hasil bisa dilakukan ketika semua penghasilan dalam sebulan telah dikurangi untuk pengeluaran biaya kontrakan, speedy/telkom, listrik, air, makan/minum sehari-hari.

Tapi sialnya, saat semua telah rampung di kerjakan dan penghasilan perminggu dari warnet mulai melebihi angka 1,2 jutaan (cukup lumayan buat warnet yang baru buka beberapa minggu), bibi gua secara sepihak merubah kesepakatan. Dia ingin gua bekerja untuk dirinya, semua penghasilan diserahkan kepadanya. Dia juga meminta gua untuk menyingkirkan kawan-kawan gua yang selama ini telah merintis dan membangun usaha bersama-sama… Gila apa! Jelas saja gua menolak keras! Gua mengatakan; “anda boleh punya uang, tapi kami punya ide dan tenaga untuk menggerakkan roda usaha, maka aku pikir hubungan kita adalah mitra usaha yang kedudukannya setara, hubungannya bukan seperti majikan dan pekerja...” Dua orang sahabat gua menganjurkan gua untuk mengalah saja, mereka juga bersedia untuk mundur. Tapi bagi gua ini sudah nggak bisa di toleransi karena sudah menginjak-injak hal yang sangat prinsipil. Lagi pula gua nggak akan pernah mau menghianati kawan-kawan yang selama ini bekerja siang-malam untuk kolektif. Wajar aja gua marah, karena ini nggak sesuai dengan kesepakatan awal. Walaupun bibi gua itu telah mengirimkan paman-paman gua untuk membujuk dan menekan gua, sikap gua nggak berubah. Paman-paman gua hanya terdiam ketika gua menjelaskan duduk persoalannya. Gua memberikan ultimatum kepada bibi gua untuk segera mengangkut semua unit komputer, karena bila lewat dari hari yang telah ditentukan, maka tangan gua sendiri yang akan melemparkannya kejalanan!

Pengalaman diatas menjadi pelajaran penting buat gua dan kawan-kawan... Bahwa bila ingin membuat usaha kolektif bersama kawan-kawan sepaham kita maka sebaiknya lakukan dengan modal sendiri, jangan ada campur tangan pemodal besar yang nggak pernah mau mengerti apa itu kerja-kerja kolektif. Mulailah dari usaha yang nggak terlalu membutuhkan modal yang besar. Ya, selalu ada pelajaran dari kesalahan, sialnya semakin pahit kesalahan maka semakin berharga pelajaran yang didapatkan. Dan jangan pernah melakukan kesalahan yang sama!

Sebenarnya apa sih yang kita cari dalam hidup di dunia? Apa yang ingin kita raih dalam kehidupan yang singkat ini?! Pada dasarnya, jika kita ingin mengikuti hasrat alami kita, maka gua rasa semua orang sangat menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Lalu hidup yang membahagiakan hati itu hidup yang seperti apa sih?! Mungkin kita akan sepakat untuk mengatakan bahwa kita akan merasa bahagia jika hidup dalam atmosfir kebebasan, keadilan dan kesejahteraan. Apakah kebebasan, keadilan dan kesejahteraan itu hanya untuk sebagian orang saja?! Tentu sekali lagi kita akan mengatakan; kebebasan, keadilan dan kesejahteraan itu untuk semua orang!

Pertanyaan terakhir gua kepada para pembaca adalah; apakah kita akan mendapatkan kebebasan, keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan yang penuh dengan intrik-intrik persaingan keji dan kompetisi tanpa henti yang meniadakan belas kasih?! Apakah hidupmu bahagia setelah bisa mengalahkan, menundukkan dan menjadikan manusia lainnya sebagai alas kakimu??? Apakah kau akan mengajarkan keturunanmu untuk menjadi kanibalis bengis terhadap sesamanya?!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar